Oleh: Risma Amalia
Sepuluh hari menjelang tanggal 10 Februari. Malam ini Dania mulai menyusun misi. Kertas putih di atas meja belajarnya dipenuhi coretan tangan tentang hal-hal apa saja yang akan dilakukannya sebelum tanggal tersebut. “Nia, ayo nak, makan malamnya sudah siap” ajak Ibunya yang memanggil dari kejauhan namun terasa dekat di telinga.
“Iya Buk, Nia segera kesana”. Dania tak ingin kalah, diapun menjawab dengan lantang. Dibereskannya dengan cepat barang yang berserakan di meja belajarnya. Kalau Ibu sudah memanggilnya untuk makan malam, itu tandanya Ayah sudah pulang kerja.
“Ayah…” teriak Dania.
Seperti biasa dia menyapanya sambil memberikan sebuah pelukan hangat dan dibalas dengan kecupan dahi oleh sang Ayah. Dania tersenyum lebar dihadapan Ayahnya, tapi tetap saja dibalas dengan ekspresi wajah yang datar. Ada sesuatu yang dia rindukan dari sang Ayah yang belakangan ini tak nampak, senyuman bahkan canda tawanya.
Dahulu setelah makan malam usai, mereka biasanya menyaksikan lawakan bersama di TV, dan tertawa terbahak-bahak bila Ayah menambahkan lelucon polosnya. Dan kini saat mereka menonton lawakan bersama, sekeras apapun tawa Dania dan Ibunya tak memberikan efek apapun bagi sang Ayah. Bell’s Palsy sudah merenggut ekspresi senyuman dari wajah Ayahnya sejak enam bulan yang lalu. Berbagai terapi telah dilakukan tapi tetap saja tak mempan, Dania merasa kasihan pada Ayahnya.
***
Hari pertama di bulan Februari, sepulang sekolah Dania mulai melancarkan aksi untuk mencapai misinya. Pertama-tama dia berusaha mencari tahu tentang hobi masa kecil Ayahnya. Menurutnya tempat yang tepat untuk mencari informasi adalah ruang kerja Ayah yang selalu terkunci rapat.
“Buk, Nia punya misi yang harus segera dijalankan, dan kali ini Nia butuh bantuan Ibu” bujuk Dania.
“Owalah, kok tumben punya misi-misian, biasanya kamu kerjanya ngurung diri di kamar. Kalau bukan baca, nge-blog, ya nyoret-nyoret kertas” ledek Ibu.
“Ini misi untuk Ayah Buk, Ibu bantuin yah, please…” rengek Dania.
Dengan mengantongi izin dari Ibu untuk memasuki ruang kerja, ia pun bergerak cepat sebelum Ayahnya pulang dan memergokinya.
Sensasi pertama yang Dania rasakan saat memasuki ruang kerja Ayahnya adalah monokrom, karena efek dari bingkai-bingkai dan miniatur Chaplin menghiasi ruangan ini. Ya, Ayahnya adalah penggemar berat Charlie Chaplin. Hanya deretan buku-buku koleksi Ayahnyalah yang memberikan warna pada ruangan ini.
Dari awal dia tahu hobi Ayahnya dari kecil adalah membaca. Hingga hobi itu mengantarkannya ke profesinya yang sekarang yaitu sebagai seorang pustakawan dan pengusaha toko buku. Tapi bukan itu hobi Ayah yang Dania cari. Ada suatu hobi Ayah semasa muda yang Paman Zaid pernah ingin ceritakan kepadanya, namun Ayah tak mengizinkan Paman untuk bercerita karena baginya itu hal yang memalukan. Dari situlah timbul rasa penasaran Dania.
Satu per satu lemari dibukanya. Hampir lima belas menit waktu berjalan belum ada suatu barang apapun yang mencurigakan. Sampai akhirnya ia menemukan sebuah kotak besi berwarna merah tepat di sudut dalam lemari. Beruntung kotak itu tidak terkunci. Kotak itu berisikan kumpulan origami merah berbentuk hati. Dania mengosongkan kotaknya dan memasukkan semua origami itu ke dalam kantung jaketnya dengan hati-hati. Ia berencana membaca isi tulisannya di kamar.
“It’s time to read the secret…” gumam Dania sambil melangkah menuju ke kamarnya.
***
Total empat puluh lembar origami itu dibacanya lalu ditulisnya sampai larut malam. Alhasil rasa kantukpun tak tertahankan saat berada di sekolah.
“Tumben hari ini tidur-tiduran di kelas, ditegur sama Pak Farid pula, apa Nia punya masalah?” selidik Vanya.
“Saya gak punya masalah Van, saat ini saya hanya punya misi” tandas Dania lalu menyesap kembali minuman greentea-nya.
“Misi apaan?” tanya Vanya.
“Ada pokoknya…Eh, by the way kak Rayan masih sering ikut pantomim gak sih?” selidik Dania.
“Iya, dia masih sering ikut dan kebetulan besok kak Rayan sama teman-teman teaternya mengadakan pentas seni di auditorium seni pusat” jelas Vanya.
Mendengar informasi tersebut Dania hanya tersenyum lebar tanpa kata dan Vanya hanya terheran-heran melihat ekspresi wajah teman sebangkunya itu.
Keesokan harinya, Dania dan Vanya janjian untuk pergi ke auditorium seni pusat. Mereka menyaksikan keseruan pentas seni yang diadakan sanggar seni Taruna dalam rangka dirgahayunya yang ke-29 tahun berkiprah di dunia teater Indonesia. Sebenarnya Dania punya maksud lain menghadiri pentas seni ini, dan itu menyangkut misinya.
“Hai kak Rayan” sapa Dania saat tim Taruna baru saja membubarkan diri dari pertemuan akhirnya.
“Eh hai, ini Dania teman Vanya bukan?” tanya Rayan setengah ragu karena mereka baru bertemu dua kali saat pesta ultah Vanya yang ke-13 dan ke-14 tahun waktu itu.
“Tepat sekali. By the way, penampilan kak Rayan saat jadi pantomim tadi patut diacungi jempol kak”
“Terimakasih, sering-seringlah nonton pentas kami ini” kekeh Rayan.
“Oh ya, Vanya kemarin cerita kalau kamu mau minta bantuan sama saya, apa itu?” lanjutnya.
“Bagaimana kalau kita membicarakannya di cafe dekat sini saja kak, Vanya sudah menunggu disana, tenang saja Dania yang traktir” bujuk Dania.
“Okelah kalau begitu, tapi saya bereskan ini dulu ya” ucap Rayan sambil mengelap wajahnya yang masih berdempulkan bedak putih yang ketebalannya entah berapa mili. Dan Dania membayangkan dirinya bila nantinya di-makeup seperti itu.
Selang beberapa jam kemudian, perbincangan Dania dan Vanya di cafe terlihat begitu santai. Sedang Rayan sibuk dengan beberapa lembaran kertas yang baru saja diperlihatkan Dania, kadang beberapa kali ia tertawa sendiri saat membacanya. Dan secara tidak langsung Dania sudah membeberkan rahasia masa muda Ayahnya yang dianggapnya tidak begitu memalukan.
“Kalau kamu ingin sukses memerankannya, kamu harus rajin latihan dan besok kita mulai latihannya” tandas Rayan.
Dania terlihat sangat bersemangat mendengarnya dan ini semua dilakukannya untuk mencapai misinya.
***
Hari yang dinanti-nanti telah tiba. Ultah Ayahnya yang ke-42 tahun diadakan di rumah mereka dan hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Namun Dania tidak lupa untuk mengundang Vanya dan Rayan yang nanti akan membantunya.
Sesekali Dania mengintip Ayahnya yang tengah berbincang bersama keluarga. Dania sedih, Ayahnya tidak bisa menunjukkan ekspresi kebahagiaannya dihadapan orang-orang, sedang orang lain bahkan tertawa lepas dihadapan Ayahnya. Dia khawatir bila misinya gagal.
“Dania, Dania…kenapa dandannya lama sekali sayang, tamu sudah pada nunggu di bawah, ayo cepat” teriak Ibunya.
“Iya buk sudah selesai kok”. Dania tiba-tiba keluar dari kamar dengan dandanan yang tidak biasa bahkan membuat Ibunya kaget setengah mati.
“Ya ampun kenapa dandanan kamu seperti valak gini nak” celetuk Ibunya.
“Buk, jangan ngeledek deh, ini tampilan ala Charlie Chaplin bukan valak” ketus Nia.
“Ibu dampingi Ayah saja ya, nanti Nia nyusul, soalnya Nia mau buat pentas mini” lanjut Dania sambil mendorong lembut pundak Ibunya.
“Ini yang kamu bilang MISI?” kekeh Ibunya. Dania hanya mengangguk malu dan tersenyum simpul.
Ibunya Dania tak tahu apa-apa soal pentas mini yang diadakan Dania bersama teman-temannya. Dia hanya memberikan ruang dan memberitahukan kepada para tamu untuk tenang dan menyaksikan suguhan dari putrinya.
“Buk, ini pentas apa sih kok Ayah gak diberitahu. Terus Danianya mana daritadi gak kelihatan?” tanya Ayah dengan bibir menceng dan ekspresi datarnya.
“Sudah, kita nonton saja Yah” bujuk Ibu sambil memapah Ayah ke sofa.
Beberapa lampu utama dimatikan, yang bersinar hanyalah lampu sorot. Mereka sudah bersiap-siap. Rayan berperan sebagai narator, Dania sebagai Chaplin KW dan Vanya berperan sebagai Nadia, Ibu Dania.
Surat cinta Aidan untukmu Nadia…
Rayan membacakan narasi sesuai dengan apa yang dituliskan Ayah Dania di origami merah itu. Kemudian Dania mengikuti narasi yang dibacakan Rayan, ia bergerak tanpa suara layaknya seorang pantomim. Sedang Vanya berusaha bertingkah sebagai Nadia yang cerewet, gesit dan bersuara lantang. Ibu Nadia dan para tamu sampai tertawa terbahak-bahak menyaksikan penampilan mereka, kecuali Pak Aidan, Ayah Dania. Mungkin dia tertawa tapi tidak bisa menunjukkannya.
"Loh, kok bisa ketahuan gini?" tanya Ayah keheranan.
“Ayah, kok gak pernah bilang sih sama Ibu kalau Ayah yang jadi Chaplin konyol waktu itu?" Ibu Nadia cemberut.
"Ibu saja yang gak pernah peka" jawab Ayah datar.
"Terus kenapa selalu gangguin Ibu kalau lagi di taman, sampai-sampai Ibu pernah ngejar Chaplin konyol pake kayu, Ayah ingat kan?” gerutu Ibu Nadia.
“Ya ingatlah, itu kejadian yang memalukan selama Ayah nyamar jadi Chaplin. Tapi asal Ibu tahu saja, waktu itu Ayah suka gangguin Ibu soalnya...ehm...marahnya Ibu itu ngangenin” seloroh Pak Aidan sambil melingkarkan tangannya di pundak istrinya.
"Ayahh...". Wajah Ibu Nadia memerah, ia tersenyum malu dihadapan suaminya.
Ya, hobi Ayah Dania semasa muda adalah mengganggu Ibu dengan menyamar sebagai Chaplin yang konyol. Padahal dari muda sampai punya anak satu, Pak Aidan terkenal karena kesantunannya. Makanya, hobi itu dianggapnya sebagai hal paling memalukan yang pernah ia lakukan.
Dania sangat senang ketika penampilan mereka sukses membuat para tamu terhibur dan juga bisa memutar kembali kisah nostalgia Ayah dan Ibunya. Tapi dilain hal misi ini dianggapnya gagal, misi untuk membuat Ayahnya tertawa. Dania sempat kecewa, tapi dia sadar bahwa membuat Ayahnya tertawa adalah kehendak Tuhan. Toh tertawa hanyalah sebuah bingkisan, sedang kelucuan dan kebahagiaan sebenarnya hanya bisa dirasakan oleh yang punya hati.
“Dania, ponakan Paman yang smart-nya pake banget, hehehe. Akhirnya kamu bisa pecahkan sendiri hobi masa muda Ayahmu yang konyol ini iyakan?” canda Paman Zaid sambil mencoba melepas kumis Chaplin yang Dania pakai.
“Ouwhh Paman…” seketika Dania terjingkrak-jingkrak kesakitan, air matanya tak bisa dibendungnya.
“Vanyaa…kamu pake lem apa sih buat nempelin kumis ini?” teriak Dania.
“Sorry, sepertinya saya salah ambil lem deh” cengir Vanya.
Ibu dan yang lainnya hanya bisa tertawa. Namun ada tawa lain di balik itu.
“Ayah, ya itu tawa Ayah” gumam Dania.
Dan mereka semua melihat Pak Aidan tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkah Dania. Pak Aidan kemudian bercerita mengapa dia bisa tertawa seperti itu. Rupanya hal yang sama pernah dilakukan Paman Zaid kepadanya dan itu suatu kebetulan yang sangat konyol menurutnya.
Dania memeluk erat Ayahnya, rasa sakit yang tadi dirasakannya seakan sudah hilang tergantikan dengan rasa bahagianya saat ini.
Because, a Father’s laughter is the greatest happiness for his Daughter.