Oleh: Risma Amalia
Fajar pagi dan matahari senja adalah dua keadaan alam yang paling kusuka, bukan hanya aku, sebagian orang pun mengatakan hal seperti itu…sunrise dan sunset…begitulah istilah kerennya. Sekalipun harus kuliah pagi tak ingin kulewatkan sedetik pun peristiwa alam itu, paparan kilaunya mentari pagi yang begitu meneduhkan hati, saat itulah aku menyemangati diri sendiri untuk dapat menjalani hari ini. Sebaliknya, untuk melepaskan kepenatan dan hati yang penuh sesak ialah dengan memandang keindahan langit sore, seakan segala beban pikiran hari ini tenggelam bersama matahari yang pamit pulang.Yap, hari yang kulalui tak sekedar pagi dan sore, siang kutempuh malam kuladeni, walaupun hanya sebagai mahasiswa yang tidak punya kesibukan sama sekali, ikut kegiatan kemahasiswaan pun tak pernah. Just study, study, and study, padahal tak pintar-pintar amat. Datar terasa…
“Kiyara Arayisha (panggilan pertama)… Kiyara Arayisha (panggilan kedua)… Kiyara?”
“Iya, iya pak saya hadir…” suara pelan itu mengagetkanku, sangking pelannya tak kudengar dosen elektronika ini memanggil namaku.
“Punya korek telinga gak di rumah? Kalau gak punya, nih bapak masih punya resistor yang baru dibeli, dijamin belum karatan” ejeknya.
“Untuk apa ya pak?” tanyaku polos.
“Yah untuk korek telinga kamu…”
“Hahahaha…” sontak teman sekelas tertawa.
“Makasih pak, kulit telinga saya masih sejenis dengan kulit manusia belum berganti ke kulit tembaga” jawabku dalam hati dan mengekspresikannya dengan senyuman bodoh.
***
“Saya rencananya mau buat robot yang bisa mendeteksi bahan semikonduktor, kira-kira bisa tidak yah? kalau Kiya mau buat apa?” pikir Muli yang kemudian bertanya padaku mengenai tugas kuliah yang paling tidak kusuka.
“Hmm…seandainya saya bisa, saya ingin buat otak pak Teguh normal kembali dan sadar kalau kita ini mahasiswa pendidikan, bukan mahasiswa elektro…bisa tidak yah?” ucapku sambil memelas.
“Hahaha, Kiya…Kiya…maksud Pak Teguh itu baik kok, dia mungkin ingin buktikan ke fakultas lain kalau mahasiswa pendidikan fisika itu tidak hanya bisa merangkai dan memodifikasi rumus-rumus, tapi merangkai komponen-komponen elektronik menjadi alat yang bermanfaat juga bisa. Pokoknya dengan usaha yang keras kita pasti bisa, mahasiswa pendidikan fisika itu kan…(dst)” celoteh Muli yang berusaha meluruskan pikiranku.
Semua yang Muli katakan tadi belum seutuhnya tercerna di pikiranku, aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, maklumlah mencerna kata-kata seorang aktivis mahasiswa itu sulit bagiku. Muli yang sudah punya banyak pengalaman membuat PKM di bawah bimbingan pak Teguh mungkin sudah terbiasa dengan cara berpikir dosen elektro itu, sampai-sampai tugas kuliah yang diberikan dianggapnya mudah.
Aku yang sedari tadi berjalan menelusuri padang rumput di kampus mencoba menatap langit sore dan berusaha menenggelamkan beberapa resistor dan kawan-kawannya bersama matahari. Tiba-tiba terdengar bunyi klakson scoopy yang datang menghampiriku dari belakang.
“pipppppppp…”
“Woy anak MaLang (Mahasiswa petuaLang), sudah capek jalan kakinya?” ejek kak Adi, kakak satu-satunya yang kumiliki.
“Iya sudah…kak Adi sudah dapat tanda tangan dari dosen pembimbing belum?”
“Alhamdulillah sudah, tinggal menunggu saja, eh…itu yang kamu pegang dompetnya siapa?” tanya kak Adi.
Sangking asyiknya menikmati jalan-jalan sore di kampus, ternyata aku lupa sudah menemukan sebuah dompet yang isinya mungkin masih sangat dibutuhkan si empunya.
“Oh iya, tadi dompet ini tercecer di sekitar padang rumput itu kak, nanti seninlah ku kembalikan”.
“Oke cepat naik, sudah hampir magrib…”
“Sore ini, apa lagi yang kamu titip sama si sunset…?” canda khas kak Adi saat perjalanan pulang.
“Tidak bisa diungkapkan kak, cukup aku dan si sunset yang tahu…” jawabku.
“Semoga saja besok si sunrise tidak membawa kembali titipanmu itu, hehe…” ejek kak Adi.
***
Malam minggu tiba, tidak ada yang bisa kukerjakan selain mendengarkan radio. Yap kebiasaan dari SMP terus terbawa hingga berada di jenjang perguruan tinggi. Apalagi radio imut berwarna oranye ini yang selalu menemaniku di kamar. Secret FM, my favourite channel bersama announcer yang super duper keren menurutku, ‘VJ Nara’ namanya. Hmm...entah kapan bisa bertemu langsung dengannya.
“Hy Guys, bagaimana kabar kalian di malam minggu yang lagi gerimis ini? Semoga gak keguyur hujan yah. Hari ini saya sedang memikirkan sesuatu yang hilang, agak galau sih, doakan saya yah. Tapi walaupun saya lagi galau, Secreters jangan risau, saya akan selalu mendengar curhatan-curhatan dan mengiringi puisi kalian dengan gitar Nara…!!” celoteh sang announcer dengan gaya bicaranya yang ringan.
Sending message…*
Hujan…mengapa kau hadir? Membawa tirai awanmu yang gelap
Tidak kah kau tahu? titipanku menumpuk
Kehadiran sunset tak dapat kulihat…
Tolong jangan tutup kehadiran sunrise esok, aku takut jika semangatku tak terbit…“Jenk Ara”
Hampir setiap malam minggu kukirimkan puisiku ke program Secret FM ini. Senang sekali rasanya saat VJ Nara menyairkan puisiku bersama alunan gitarnya, seakan titipan yang ingin kuberikan kepada sunset lenyaplah sudah.
“Hmm…soal titipan, sepertinya ada yang terlupa…dompet, yah dompet coklat itu…” pikirku sambil mengobrak-abrik laci meja.
Kubongkar seluruh isinya dan menemukan setitik terang kejelasan tentang si empunya dompet.
“Danar Alamsyah…fakultas teknik elektro 2009…sepertinya saya kenal orang ini” sambil melihat foto di kartu mahasiswa itu dengan seksama.
***
Matahari begitu terik siang ini, seakan ingin memanggang seluruh otak mahasiswa pendidikan fisika yang memang selalu berada di puncak titik didihnya. Seperti hari biasanya, ada yang duduk di bawah pohon mencuri sesuap oksigen hasil fotosintesis, ada yang berdendang ria bersama alunan gitar, memangku laptop, makan di kantin, menunggu dosen, dan lain-lain. Tidak ketinggalan teman saya yang satu ini, Sri, nama kerennya Chy-kun, kebiasaannya setiap hari simpel saja ‘mencari kunci motor’ karena lupa simpannya dimana, hehehe.
“Chy-kun, bagaimana…sudah dapat kunci motornya belum?” teriakku yang sedari tadi menunggunya di parkiran motor.
“Belum Kiya, saya lupa tadi naruhnya dimana…” jawab Sri bingung.
Tiba-tiba seorang cowok dengan headset aneh di telinganya datang menghampiriku.
“Permisi, kamu tahu ini kunci motor siapa, daritadi tergantung di sadel motor ini” sambil menunjukkan sesuatu yang sedaritadi dicari-cari.
“Oh iya, ini punya teman saya…makasih yah” jawabku lembut sembari mengingat sesuatu.
Ketika cowok itu beranjak dari pijakannya, baru teringat olehku kalau dia adalah si empunya dompet.
“Hey tunggu…” teriakku berusaha menahan langkahnya.
“Iya ada apa?”
“Hmm…kamu anak teknik elektro kan? Danar Alamsyah angkatan 2009?”
“Hmm iya, ada apa ya?”
“Wah kebetulan sekali, jumat kemarin saya dapat dompet di bawah pohon rumput sana, sepertinya ini dompet kamu…” jawabku sambil memberikan dompet coklat itu kepadanya.
“Alhamdulillah, iya ini betul dompet saya…terimakasih banyak ya, kayaknya sudah dua kali deh kamu menolong saya”
“Dua kali? Oh iya…”
Aku yang bingung dengan kata dua kali itu tiba-tiba mengingat sesuatu, waktu itu Danar sempat menjatuhkan headset-nya saat dia terburu-buru menuju ke rektorat. Bayangkan saja, saya harus ikut naik turun tangga rektorat hanya untuk memberikan headset anehnya itu.
“Sekali lagi terimakasih ya, kalau kamu ingin service alat elektronik atau butuh bantuan lainnya ini kartu nama saya”
Sri yang daritadi menyimak pembicaraan kami tiba-tiba membisikkan sesuatu di telingaku. Sepertinya apa yang dibisikkannya adalah ide yang sangat brilliant menurutku.
“Hmm…kalau bantu merakit alat bisa?” tanyaku malu-malu.
“Oke, sediakan saja ide alatnya bagaimana, tinggal cari waktu kapan kita bisa mulai…” jawabnya sambil tersenyum.
***
Seperti ritual sebelumnya, setelah shalat subuh kupandangi fajar pagi dari balik jendela kamar sambil menghirup kesejukan udaranya. Ketika sunrise tampak, aku berusaha meresapi energi positifnya dan menerbitkan semangat ku lagi. Yap, spesial untuk hari ini aku ingin sunrise dapat membangkitkan semangat kak Adi yang nanti akan yudisium, berharap dia bisa meraih gelar sarjana teknik arsiteknya.
“Cie cie…yang hari ini mirip kotoran cicak, pucatnya minta ampun…” ejekku kepada kak Adi.
“Ejek saja terus, nanti kalau kamu sudah jadi angkatan tertua, rasakan sendiri dag dig dug nya bagaimana” celoteh kak Adi.
“Makanya, Kiya harus belajar dengan benar, supaya saat yudisium kelak tidak gugup seperti kakak mu ini” canda Ayah yang secara tidak langsung menasehatiku.
“Adi jangan terlalu gugup, santai saja, jaga jantungmu…” sambung Ibu yang sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi.
“Tuh dengar kata Ibu, jangan sampai pas dengar pertanyaan dari dosen malah jantungan…hehehe peace mybro, tenang saja saya sudah bilang kok sama si sunrise untuk menyemangati kak Adi hari ini” candaku.
Kak Adi hanya tertawa kecil mendengar candaanku.
***
Mengajar di depan teman-teman dan dosen hari ini sukses besar, Fisika Sekolah II berhasil kutaklukkan dengan materi ‘usaha dan energi’ sebagai senjatanya. Thanks for sunrise untuk semangatnya hari ini. Tiba-tiba aku terpikir dengan kak Adi, semoga dia sama suksesnya denganku. Aku mencoba mengaktifkan handphone oranye yang daritadi kunon-aktifkan, beberapa menit kemudian satu pesan masuk kuterima dan itu dari kak Adi.
“Mysist, bilang sama si sunrise, ini terakhir kalinya dia memberikan semangat kepada saya, karena saya tak butuh lagi semangat darinya. Gelar sarjana teknik arsitektur telah saya dapatkan…hahaha”
Membaca pesan itu membuatku senang tak terkira, berasa ingin cepat-cepat pulang ke rumah merayakan kesuksesan kakak bersama Ayah dan Ibu. Tapi sebelumnya aku harus berkonsultasi dengan Danar mengenai alat elektro yang ingin kubuat. Kalau sudah buru-buru begini, Sri jadi sasaran empuk untuk jadi teman nebenk.
“Chy-kun, nebenk dong ke fakultas teknik elektro…” bujukku.
“Sabar yah Kiya, saya lagi mencari sesuatu nih…” jawab Sri sambil tersenyum campur gelisah.
“Kunci motor lagi?” tanyaku keheranan.
Namun secara tidak langsung Sri memberikanku inspirasi tentang alat yang akan aku konsultasikan bersama Danar.
***
Hari berganti hari, tak terasa gantungan kunci pendeteksi barang hilang berbasiskan bluetooth ala Danar dan aku sudah mencapai 90%. Tak lupa kubuatkan satu khusus untuk Sri. Aku sudah mulai tertarik dengan dunia elektro, lama-kelamaan apa yang dikatakan Muli pada waktu itu menurutku benar adanya.
Danar adalah mahasiswa elektro yang berbakat, bukan hanya teori, praktek elektro pun mantap dia terapkan. Sampai suatu saat aku penasaran dengan headset aneh yang sering dia gunakan, entah itu headset canggih tanpa kabel, atau sejenis handphone, maklumlah aku kurang up to date dengan barang-barang canggih seperti itu.
Hingga suatu hari aku tahu kebenarannya. Saat itu Danar mengantarku pulang ke rumah. Ibu yang sedang menyiram taman tiba-tiba kaget melihat Danar.
“Eh Danar…ya ampun sudah lama Ibu tidak ketemu kamu, bagaimana kabarnya nak?” sapa Ibu sambil memberikan telapak tangannya untuk disalami dengan Danar.
“Alhamdulillah baik bu…” jawab Danar tersenyum.
“Ibu kenal Danar dimana?” tanyaku penasaran.
“Danar ini pernah jadi murid Ibu di SMP…”
“Memangnya Ibu pernah mengajar di SMP mana selain di SLB (Sekolah Luar Biasa)?” tanyaku lagi yang semakin penasaran.
“Maksud Ibu SMP di Sekolah Luar Biasa…ini murid kebanggaan Ibu loh…” kata Ibu penuh bangga.
“Owh…”
Hanya kata itu yang bisa kukeluarkan, namun di dalam hati kata “luar biasa” yang tak henti-hentinya kuucapkan. Danar hanya tertawa kecil mendengar pembicaraanku dengan Ibu.
***
“Kiyara, saya mau alat ini kamu ajukan untuk PKM tahun ini…” kata pak Teguh yang sangat menyukai hasil karyaku dengan Danar.
“Oh no, ujung-ujungnya pasti ketiga huruf itu yang keluar dari mulut bapak ini P, K, dan M” kataku dalam hati dengan keringat yang bercucuran.
“Tapi pak, saya sama sekali belum punya pengalaman membuat PKM” kataku yang mencoba menghindar dari keikutsertaan ini.
“Tenang saja, Muli bisa bantu kok…kalian tinggal mencari satu rekan kerja lagi, entah dari sesama mahasiswa pendidikan fisika atau dari fakultas lain” jawab pak Teguh dengan santainya.
Mau bagaimana lagi, perintah pak Teguh tak bisa ku tolak, hitung-hitung tambah pengalaman ikut kegiatan mahasiswa seperti ini. Akhirnya, aku, Muli, dan Danar pastinya, menjadi satu kelompok untuk membuat proposal PKM ini.
Selang beberapa minggu kemudian, kerja keras kami membuahkan hasil yang manis. Proposal kami diterima untuk maju ke Pimnas yang kali ini diadakan di Bandung. Aku sangat senang bisa menjadi salah satu mahasiswa yang beruntung merasakan kemenangan ini. Namun di sisi lain aku merasa sedih karena tak dapat menghadiri acara wisuda kak Adi yang bertepatan dengan kompetisi ini. Kak Adi berusaha meyakinkanku, kalau aku harus meneruskan perjuanganku bersama Muli dan Danar.
***
Tak terasa tiga bulan terlewatkan begitu cepatnya. Kepergian kak Adi untuk selamanya belum bisa kupercaya. Hanya foto wisudanya yang bisa kupandangi, tak ada lagi pendengar setiaku, tak ada lagi yang bisa mendengar lagu-lagu jelekku. Aku juga ingin memperlihatkan trofi kemenangan ini dan memberikannya satu buah gantungan kunci hasil karyaku bersama teman-teman, sebagai hadiah kecil pertama yang belum pernah kuberikan sebelumnya.
“Selamat ulang tahun mybro…”
Aku berharap sunset dapat menyampaikan ucapanku kepada dia yang berada jauh di sana. Air mata di pipiku tak terasa menetes, semilir angin di padang rumput kampus ini menambah kegundahan hatiku.
Tiba-tiba terdengar suara gitar dari balik pohon yang sedaritadi menjadi tempatku bersandar. Rupanya Danar datang untuk menghiburku dengan gitarnya. Aku baru tahu kalau dia mahir bermain gitar, merdu sekali. Entah mengapa tiba-tiba kulontarkan pertanyaan kepadanya yang selama ini ingin sekali kutanyakan.
“Danar, saya ingin tahu, apa kamu pernah malu dengan kondisi fisik yang tidak sempurna seperti ini?” tanyaku dengan suara lembut, takut jika dia merasa tersinggung.
“Awalnya, terlahir sebagai penyandang tuna rungu itu sungguh membuat saya merasa tak berguna. Hanya bisa melihat dan merasa tanpa tahu apa yang mereka katakan dan rasakan sebenarnya, tanpa tahu bagaimana mendengar suara sendiri, dan tanpa tahu bagaimana suara alam yang Tuhan karuniakan. Tapi lama-kelamaan saya merasa tak perlu malu dengan keadaan seperti ini, saya berusaha menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain. Bekerja sampingan menjadi penyiar radio sudah cukup bagi saya untuk mendengar curhatan beribu-ribu orang di kota ini. Dan salah satu keinginan saya…saya ingin menjadi pendengar setia untuk Jenk Ara, yang sudah berbulan-bulan tidak mengirimkan puisinya lagi ke program malam minggu Secret FM. Seandainya dia tahu, kalau VJ Nara sangat ingin menyairkan puisi-puisinya lagi dengan gitar ini” jawab Danar dengan panjang lebarnya.
Mendengar pengakuan Danar, aku merasa terkejut.
“VJ Nara itu kamu?” tanyaku untuk meyakinkan kembali.
“Yap, hehehe…”
Aku pun berdiri dari sandaran, dan mencoba berteriak sekeras-kerasnya.
“Sunset…katakan titipan ku ini pada sunrise dan kakak, Kiya sekarang sudah menemukan pendengar setia yang baru…”
PENDENGAR SETIA
Ketika dirimu duduk termenung, di antara guguran dedaunan
Aku datang…dengan petikan gitarku
Sengaja hanya untuk menghiburmu…
Kulihat dirimu seperti menanggung, beban hidup yang ingin kau lepaskan
Aku datang…dengan petikan gitarku
Mencoba memasuki ruang dalam benakmu…
Dengan sejuta tanya, dan misteri dari dirimu
Tak kusangka kau menitikkan air mata
Hingga getaran senar kuhentikan, agar dapat menjadi pendengarmu…
Dari sejuta puisi yang kau ciptakan
Hanya puisi hidupmu yang tidak kutahu
Dari rangkaian nada gitarku bergetar
Aku dapat mendengar puisi cerita hidupmu…
Izinkanlah aku menjadi pendengar setiamu…